Meracau di Prau



“I like this place and could willingly waste my time in it.”
― William Shakespeare

Teks oleh Rio Praditia & Foto oleh Andri Suanto

Malam penghujung musim kemarau memamerkan hawa dinginnya sesaat setelah matahari undur diri di barat. Andrie yang selepas berburu foto di balik bukit langsung membongkar carrier, meraih baju hangat dan jaket windproof lalu tergesa-gesa mengenakannya. Selamat datang di Gunung Prau di mana kita bisa menyaksikan barisan pegunungan tanpa perlu lama-lama mendaki, terang Andrie sembari menghangatkan air di Trangia Mini.



Hanya ada Andri, saya dan alam di malam itu. Rencana pendakian awal adalah dua malam sebelumnya namun karena alasan aklimatisasi (yang dibuat-buat) kami baru mulai mendaki di pagi hari itu. Setelah sehari sebelumnya kami habiskan berjalan kaki keliling Dieng mengunjungi obyek-obyek wisata seperti kawah-kawah, danau dan juga candi. Tapi dari itu semua yang paling berkesan adalah kuliner asli Dieng, seperti Mie Ongklok, kentang goreng dan mie jamur, yang tentunya menggunakan bahan-bahan lokal. Teringat percakapan dua minggu sebelumnya, “Mau berapa hari di Dieng ndrie?” “Sampai you bosan cong.”

Terdapat dua jalur menuju Gunung Prau, pertama dari Desa Patak Banteng dan kedua dari Dieng. Kami memilih yang kedua. Sekitar dua hari yang lalu, hampir mendekati tengah malam, kami turun di Patak Banteng dari bus yang mengantar kami dari Wonosobo. Tidak ada siapa-siapa di basecamp, bisa dimaklumi, malam itu adalah H-3 lebaran di tahun 2013, jadi seluruh penjaganya pulang kampung. Akhirnya kami menumpang truk sayur yang lewat menuju Dieng dan menginap di sana dua malam.



Umumnya hanya membutuhkan waktu 3-4 jam untuk sampai ke Puncak Prau yang berupa padang luas berbukit-bukit. Namun, kami yang jalan terlalu berleha-leha memakan waktu 5 jam untuk sampai ke 2565 mdpl. Mendaki gunung ini terasa menyenangkan, selain harus melewati hamparan perkebunan warga, kita juga akan melintasi hutan yang tidak terlalu lebat. Kicauan berbagai macam burung ikut menyemarakan suasana. Terkadang, reptilia yang seringkali berpapasan memandang kami curiga, sekejap mata lari tergesa-gesa ke dalam semak-semak.

Malam semakin gelap, cahaya lampu dari rumah-rumah di bawah berkelip terpisah-pisah jauh satu sama lainnya, di sini polusi cahaya tidak terlalu kentara. Tak lama galaksi Bima Sakti menampakan rupanya. Andri yang sudah sedari sore memosisikan kamera mirrorless yang terpasang di tripod pada padang berlatar bukit, langsung menekan shutter. Long exposure mode bekerja dan kami menunggunya berhenti sambil memanggang sosis instan makanan para juara di atas api unggun.



Saya percaya, malam-malam kemarau di kawasan Dieng lebih dingin dari puncak-puncak gunung lainnya di Jawa. Meski duduk di dekat api unggun, dingin masih sanggup menggigit tulang. Mengobrol saja kami masih butuh upaya menenangkan rahang yang gemetaran. Kata-kata yang keluar jadi seperti meracau. Andai saja ada perempuan cantik di sebelah, sudah saya peluk sedari sore.

Dingin membuat saya cepat mengantuk. Saat Andrie masih asyik menunggui foto hasil long exposure, saya sudah terbuai dalam hangatnya sleeping bag. Andrie membangunkan saya tepat sebelum matahari terbit. Dingin semakin tidak manusiawi, padang rumput menguarkan embun, yang akan langsung membasahi kaki setelah satu dua kali melangkah.



Alarm apalagi yang paling ampuh selain panggilan alam untuk menuntaskan hajat? Di tengah hawa dingin saya mengambil tissue basah, pergi ke sedikit lahan kosong di antara semak-semak di atas bukit yang langsung menghadap ke timur, menggali lubang dan berjongkok di sana. Siapa sangka sambil berproses menuntaskan lodging sisa makanan semalam, matahari terbit dan menyiramkan cahaya hangatnya.

Usai ritual pagi, saya kembali ke tenda memasak air lalu menyeduh kopi. Lalu membawa gelas itu ke ujung bukit sebagai teman menyambut pagi. Gunung Sindoro – Sumbing mulai menguning terpapar matahari. Di angkasa, elang jawa berputar-putar terbang mencari sarapan pagi. Saya menutup mata dan menghirup aroma kopi berpadu dengan wangi bunga liar, tanah basah dan embun pagi.




Dalam keheningan alam punya nyanyiannya sendiri. Dalam kesederhanaanya alam punya kemewahan tak terperi.

Comments

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati