Mulai Meniup


 “Without music, life would be a mistake.”
- Friedrich Nietzsche

Saya selalu iri setiap melihat orang memainkan alat musik, apalagi bila yang ditampilkan adalah alat-alat musik klasik seperti biola, harpa, cello, biola dan sebagainya. Sepanjang saya hidup, bermain musik seperti sesuatu yang tak terjangkau, sesuatu yang mewah, sesuatu yang suci. Saya seakan-akan harus sadar diri, saya tidak dilahirkan untuk itu. 

 
sumber: http://latimesblogs.latimes.com


Tidak ada tradisi musik dalam keluarga, sejak kecil kami dididik untuk suka membaca, dalam keseharian ibu menuntut anak-anaknya untuk jago matematika dan bahasa inggris. Oleh karena itu, jangankan untuk tahu simbol-simbol dalam partitur, do re mi saja saya seringkali salah nada. Tapi, jauh di lubuk hati, saya ingin bisa bermain alat musik.

Ketika sekolah di seminari, saya punya kesempatan untuk belajar musik, mulai dari latihan koor, grup akustik, karawitan sunda, sampai orkestra klasik. Saya seringkali naik ke gudang atas hanya untuk memandangi cello, contra bass, biola dan teman-temannya yang teronggok berdebu di sana. Namun, saya tidak pernah berani untuk bergabung dengan grup-grup musik itu. Saya sudah kalah sebelum berperang, saya takut memperlambat laju latihan teman-teman yang sudah punya dasar musik yang kuat, atau mungkin saya terlalu tinggi hati hingga tidak berani terlihat bodoh, saya menarik diri. Terngiang-ngiang candaan seorang teman bernama John “cong, la’u jangankan nyanyi and main musik, ngomong aja la’u fals”. Buat dia mungkin itu candaan, namun hati saya remuk redam.

Saat kuliah, ada kesempatan untuk belajar, seorang teman bersedia mengajarkan saya memainkan biola. Dia juga bersedia meminjamkan biolanya sampai saya bisa membeli biola sendiri. Dia juga belajar biola kepada temannya, jadi dia percaya saya juga pasti bisa belajar secara otodidak. Tapi dia lupa, sebelum bemain biola dia punya dasar musik yang kuat, sedangkan saya tidak. Setelah berbulan-bulan saya coba belajar sendiri tidak ada kemajuan berarti. Tanpa dasar musik, saya tidak bisa membedakan apa nada-nada yang saya hasilkan tepat atau melenceng ke angkasa. Saya angkat tangan, saya putus asa, tapi keinginan itu tetap ada, seperti dipahat dalam-dalam di dinding otak. Pernah terbersit untuk kursus di sekolah musik, tetapi jangankan untuk membayar kursus dan membeli alat musiknya, uang saku untuk makan dan traveling saja pas-pasan.

Tibalah sampai saya lulus kuliah, merantau ke Bali mempertemukan saya dengan Andre Barong, kakaknya  Sheila dan kakak iparnya Joshua, keduanya sudah saya anggap seperti saudara. Andre adalah pemain cello, juga sarjana pendidikan musik. Mendengar keinginan saya untuk bisa memainkan dan menguasai alat musik membuat kami mengobrol semalam suntuk. Menurut Andre, sangat sulit bagi awam musik untuk langsung belajar alat musik berdawai, ada baiknya dimulai dengan alat yang nadanya lebih jelas, sebaiknya mulai dari belajar organ.

Tapi apa saya mesti membeli organ yang harganya paling murah di range belasan juta? Dia menemukan jawabannya, saya bisa belajar memainkan flute. Dia bersedia mengajarkan saya agar bisa bermain musik, mulai dari dasar yang paling dasar untuk sekelas anak TK, dari do re mi sampai mahir membaca not balok.  Andre menambahkan “pemain flute yang bisa menandingi kharisma pemain cello, kalau lihat keduanya bermain, mau cewe lokal atau cewe bule pasti klepek-kelepek”. Sejak malam itu, saya berjanji pada diri sendiri akan menyisihkan gaji-gaji di bulan pertama untuk bisa membeli flute supaya bisa sesegera mungkin belajar. “Kita tidak memilih alat musik, alat musik yang memilih kita” terang Andre, pikir saya saat itu mungkin alat musik seperti tongkat sihir yang memilih pemiliknya di buku Harry Potter.

Belum sampai hitungan bulan dari percakapan itu, Joshua yang pulang ke rumah mertua (red-- rumah Andre & Sheila)di Magelang membawa flute kayu milik keluarga di sana. Flute ini sudah sangat tua, “ini milik pakde saya, sewaktu muda dia pemain flute di grup keroncong, flute ini sudah ikut dia melanglang buana ke mana-mana” cerita ayahnya Andre yang sudah berusia lebih dari setengah abad, ketika kemarin berkunjung ke Bali.  “ini flute era Baroque, tingkat kesulitannya jauh lebih sulit dibandingkan flute logam, namun memiliki suara yang lebih berkarakter” terang Andre pada suatu sore yang gerah. Flute itu tinggal sementara di kamar kos saya, agar saya bisa mulai mempelajarinya, agar saya bisa “bercinta” dengannya. Siapa sangka saya bisa belajar alat musik lebih awal dari yang saya perkirakan. Kalau kata tulisan kecil di buku Big Boss sewaktu saya duduk di bangku SD “there is a will, there is a way”, maka keinginan saya menemukan awal jalannya sore itu.

flute di dalam kotak kayu yang juga antik.

Seperti jatuh cinta, selalu ada luka yang siap menerkam di saat kebahagiaan membuai. Maka selalu ada luka ketika kita mulai tergila-gila dengan alat musik. Entah kulit ujung jari berdarah ketika bermain biola, atau pemain terompet yang ambeien karena terlalu asik mengedan, maka mata saya berkunang-kunang hampir blackout ketika coba membunyikan flute. Bermain flute tidak semudah yang saya bayangkan.

“tugas pertamamu adalah coba membunyikan flute ini” ujar Andre. Awalnya saya kira ia membuat lelucon, ternyata ia benar-benar serius, meniup flute tidak semudah meniup recorder atau pianika. Sepanjang malam saya mencoba meniup flute di depan Andre dan Joshua tapi tidak pernah berhasil. Sepanjang malam itu pula saya menjadi bahan lelucon mereka. “Berarti levelmu belum sampai sini” terang Andre, kemudian ia melepas rangkaian dan memberikan head flute kepada saya seraya berkata “tugasmu sampai pertemuan selanjutnya adalah membunyikan ini saja”

Flute dalam kondisi terpasang
Selewat dua malam akhirnya saya baru bisa membuat head flute itu berbunyi, tidak berdesis. Walaupun jika disuruh mencoba lagi butuh beberapa menit agar bisa menemukan suara yang serupa. Kesabaran saya benar-benar diuji.

Semalam saya presentasi kemajuan saya dengan penuh percaya diri. Namun apa tanggapan Andre? “Meniup flute bukan seperti itu, kalau suaranya putus-putus seperti itu bukan suara dari flutist, itu suara penjual kue putu ” dan meledaklah tawa Andre, Joshua dan Sheila. Niat hati ingin bermain piece Bach Orchestal Suite No. 2 in B Minor Badinerie, tapi membunyikan saja belum mampu. Pepatah mengatakan, kesempatan tidak datang dua kali, tapi kesempatan saya untuk belajar musik sudah datang tiga kali, saya tidak boleh menyiakannya, karena mungkin tidak akan datang yang keempat. 

Saya harus terus berjuang untuk bisa, karena jika saya menyerah di flute ini, saya tidak akan pernah berhasil memainkan alat musik apapun. Mimpi akan tetap menjadi mimpi, saya tidak mau mati dengan mimpi itu berkerak di hati. Saya mau mati dengan senyum bahagia karena bisa menikmati hidup dengan jalan-jalan, menulis dan bermain musik. Itu saja sudah cukup.

Wish me luck


Comments

  1. ntar gw ke balilagi udah bisa denger lu main flute yak hahaha...

    ReplyDelete
  2. Menarik nih cara mendidiknya.

    ReplyDelete
  3. wew, ga nyangka kalau flute itu sulit. Tadinya saya kira sama seperti meniup recorder. semoga berhasil!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati